
Energi Panas Bumi Indonesia memiliki potensi besar sebagai pembangkit penopang beban puncak (baseload). Meski demikian, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) mengaku, pengembangannya menghadapi sejumlah tantangan.
Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) Julfi Hadi mengungkapkan, risiko besar yang dihadapi dalam proyek panas bumi. Menurutnya, terdapat dua risiko utama yang perlu diperhatikan, yaitu risiko pengeboran (drilling) dan risiko biaya.
Risiko pengeboran, menurut Julfi, merupakan salah satu tantangan terbesar. Namun, hal ini dapat diminimalisasi dengan pengelolaan yang baik.
“Risiko drilling, ini kalau kita bisa dibuat lebih kecil, dengan menjalankan yang kecil-kecil dahulu di antara lahan milik kita yang besar, itu probability kesuksesannya dalam pengeboran bisa naik,” ungkap Julfi dalam acara Rakornas REPNAS 2024 di Jakarta, Senin (14/10/2024)
Julfi juga menyebutkan perkembangan teknologi yang memungkinkan sumur yang sebelumnya tidak berfungsi kini dapat beroperasi kembali dengan bantuan pompa.
Risiko kedua yang diungkapkan adalah risiko biaya. Dia menjelaskan bahwa pengurangan biaya bukan hanya melalui pengurangan belanja modal (capex), tetapi juga dengan memaksimalkan penggunaan teknologi.
“Hal ini bisa kita kendalikan dengan kita mengembangkan teknologi dan produksi dari sumurnya naik berapa persen, power plantnya berapa persen. Yang terus diturunkan cost,” pungkasnya.
Julfi juga menambahkan bahwa kolaborasi dengan asosiasi energi geotermal menjadi kunci untuk menurunkan biaya di masa depan, terutama dengan adanya kesepakatan untuk menggunakan rig khusus geotermal. Hal ini diyakini akan membuat biaya pengeboran turun dalam lima tahun ke depan,
PGEO pun menargetkan, dalam 2-3 tahun ke depan perusahaan tetap akan berkomitmen untuk menambah 1.000 Mega Watt (MW) atau 1 Giga Watt (GW) PLTP.